Rabu, 07 Desember 2011

Problematika Akuntabilitas Keuangan Daerah

Awal Oktober lalu, masyarakat sempat mendapat laporan yang cukup memprihatinkan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 


Dalam laporan yang dimuat beberapa media nasional, terungkap dari 362 laporan keuangan pemerintah daerah (pemda) yang diaudit BPK, hanya tiga laporan keuangan atau kurang dari satu persen yang mendapatkan opini "wajar tanpa pengecualian" yang berarti laporan keuangan tersebut telah sesuai standar yang ditetapkan. Adapun sisanya, sebanyak 284 memperoleh nilai "wajar dengan pengecualian", 19 laporan keuangan "tidak wajar", dan 56 laporan keuangan "disclaimer". 


Hasil pemeriksaan BPK ini menunjukkan rendahnya tingkat akuntabilitas pengelolaan keuangan oleh pemda, yang berarti publik tidak bisa mempercayai sepenuhnya informasi keuangan yang disajikan pemda dalam laporan pertanggungjawaban. Kondisi ini cukup memprihatinkan, mengingat ketentuan agar pemda membuat laporan keuangan secara komprehensif berupa neraca, laporan arus kas, dan laporan realisasi anggaran telah diamanatkan UU No 25/1999 tentang Keuangan Daerah.


Apa penyebab lambatnya kemajuan pemda dalam mewujudkan laporan keuangan yang akuntabel dari aspek ketersediaan sumber daya manusia, konsistensi kebijakan pemerintah pusat, dan paradigma kepala daerah terhadap laporan keuangan Pemda? Reformasi pengelolaan keuangan daerah sejak 1999 menyebabkan berubahnya praktik akuntansi sederhana single entry berbasis kas menjadi praktik akuntansi double entry berbasis akrual yang relatif lebih rumit agar dapat menghasilkan neraca dan laporan arus kas di samping laporan realisasi anggaran. 


Praktik akuntansi double entry berbasis akrual,kendati relatif lebih rumit, dipandang memiliki kelebihan memiliki kandungan informasi yang lebih baik kepada publik karena tidak saja menginformasikan jumlah dana masyarakat yang dibelanjakan, melainkan juga menginformasikan nilai aset yang dibeli maupun yang dikuasai pemda. Dengan demikian, potensi maupun kinerja keuangan pemda akan tergambar secara lebih baik, jika menggunakan praktik akuntansi double entry berbasis akrual tersebut. 


Permasalahannya, untuk menerapkan akuntansi double entry berbasis akrual diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang memahami logika akuntansi secara baik.Aparatur pemda yang menangani masalah keuangan tidak cukup hanya menguasai penatausahaan anggaran, melainkan juga harus memahami karakteristik transaksi yang terjadi dan pengaruhnya pada rekening-rekening dalam laporan keuangan pemda. Kegagalan SDM pemda dalam memahami dan menerapkan logika akuntansi akan berdampak pada kekeliruan laporan keuangan yang dibuat dan ketidaksesuaian laporan dengan standar yang ditetapkan pemerintah. 


Dalam hal ini, pemda umumnya memiliki keterbatasan jumlah SDM yang menguasai logika akuntansi secara baik. Banyaknya SDM keuangan pemda yang berlatar belakang nonakuntansi merupakan satu kendala utama saat ini. Akibatnya, berbagai pelatihan yang diadakan pemda maupun pemerintah pusat tidak memberikan hasil maksimal. Dengan demikian, upaya melakukan rekrutmen pegawai berlatar belakang akuntansi dengan spesifikasi teknis akuntansi yang baik merupakan suatu pilihan yang tepat untuk dikembangkan. 


Permasalahannya, rekrutmen pegawai untuk mengatasi keterbatasan SDM selama ini belumlah optimal dalam memperoleh pegawai dengan kompetensi terbaik. Hal ini disebabkan oleh model seleksi pegawai yang diterapkan masih bersifat umum dan belum menggali aspek kompetensi akuntansi peserta ujian. Di samping faktor SDM,tidak konsistennya pemerintah pusat terhadap kebijakan yang dikeluarkan terkait pengelolaan keuangan daerah juga merupakan faktor utama lambatnya kemajuan akuntabilitas keuangan daerah.


Dengan alasan perbaikan tata kelola, kebijakan pengelolaan keuangan daerah kerap direvisi pemerintah pusat melalui berbagai peraturan baru.Pada 2004,misalnya, dengan keluarnya UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai pengganti UU No 25/1999, Keputusan Menteri Dalam Negeri No 29/2002 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang masih pada tahap sosialisasi, harus segera direvisi kebijakannya agar sinkron dengan UU No 33 yang baru keluar. 


Kondisi ini bagi aparatur keuangan pemda cukup membingungkan dan merepotkan karena ketika hendak mengimplementasikan suatu pedoman yang baru dipelajari,aparatur pemda diinstruksikan untuk mempelajari ketentuan baru yang berbeda dengan pedoman yang baru saja dipelajari di berbagai pelatihan teknis. 


Saat ini, aparatur pemda menggunakan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13/2006 sebagai pedoman pengelolaan keuangan daerah.Kendati pedoman ini telah mulai familier di kalangan aparatur pemda,pengalaman inkonsistensi kebijakan pemerintah pusat tetap membuat sebagian besar pemda memilih untuk tidak cepat-cepat menerapkan sepenuhnya pedoman ini. Bagi sebagian pemda, langkah serius untuk menerapkannya baru akan dilakukan jika perintah pusat dipandang tidak akan mengubah kebijakan tersebut dalam waktu dekat. 


Faktor terakhir yang cukup signifikan menyebabkan lambatnya kemajuan akuntabilitas laporan keuangan pemda adalah paradigma kepala daerah terhadap benefit dibuatnya laporan keuangan. Banyak kepala daerah masih memandang penyediaan laporan keuangan tidak memberikan benefit yang berarti bagi dirinya maupun daerah yang dipimpinnya, bahkan cenderung dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan. Satu alasan utama bagi sebagian besar pemda mau membuat dan menyerahkan laporan keuangan kepada pemerintah pusat adalah adanya ancaman dari departemen keuangan untuk tidak mencairkan dana alokasi umum sekiranya pemda tidak menyerahkan laporan keuangan mereka. Hal ini tentulah cukup memprihatinkan karena sejatinya laporan keuangan yang akuntabel merupakan hak publik yang harus dipenuhi kepala daerah yang telah dipilih rakyat. (*) 


Sumber : http://suar.okezone.com/read/2007/11/01/58/57712/problematika-akuntabilitas-keuangan-daerah